Kamis, 19 Juni 2008

पु तू पटPAT

PROFILE
Sastrawan senior yang bernama lengkap I Gusti Putu Arya Tirtawirya ini lahir 10 Mei 1940 di Mataram, Nusa Tenggara Barat। Mengecimpungi penulisan verpen, esai, kritik sastra dan artikel budaya umum। Pun penulisan cerita anak-anak (dongeng) serta resensi buku. Karya-karyanya tersebar di aneka Koran dan majalah : Kompas, Karya Bhakti, Horison, Sastra, Tribun dan sebagainya.


Buku himpunan cerpennya : “Pasir Putih Pasir Laut”, “Malam Pengantin”, “Kegelapan di Bawah Matahari”, “Saat Kematian Semakin Akrab.”Buku himpunan esainya :”Apresiasi Puisi dan Prosa”, “Antologi Esai dan Kritik Sastra”.Sajak-sajaknya termuat dalam beberapa antologi :”Penyair Bali”, “Pilar-Pilar “ (bersama Diah Hadaning) dan dalam Buku “Saat Kematian Semakin Akrab,”dllnya.Buku cerita anak-anak pernah terbit dengan judul : “Pan Balangtamak”, “Pan Camplung”.

Cerpennya, “Orang Kaya” diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh Prof.Dr. R.Carle dan dimuat dalam majalah Merian yang terbit di Hamburg, Jerman Barat. Cerpen-cerpennya pun mengisi buku Antologi “Cerita Pendek Indonesia” dan “Jakarta, 30 Cerita Pendek Indonesia” (terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka di Kuala Lumpur Malaysia) keduanya di bawah editor Satyagrha Hoerip (Alm).

Dalam buku Kritik Sastra, Sebuah Antologi” ini tergambar dengan jelas bahwa wawasannya seputar kesusastraan sebagaimana tersimpul dalam esai-esainya.

ESAI
MAKNA SUATU KRITIK SASTRA
Oleh :
Putu Arya Tirtawirya

Seorang editor buku antologi prosa atau puisi memang punya wewenang menulis kritik sastra sebagai pelengkap buku tersebut, sejauh dirinya tidak mendiskreditkan karya yang dimuat sekaitan dengan kedudukannya selaku editor yang telah memilih karya-karya yang memang layak dimuat.

Pada hakekatnya makna suatu kritik sastra itu bersifat sangat relatif. Tidak ada seorang kritikus manapun yang bakal bersifat obyektif seratus prosen mengingat begitu banyaknya metode kritik sastra dalam bidang kesusastraan. Pendapat seorang kritikus tidaklah bersifat mutlak benar—apa yang ia tulis hanyalah sebatas buah pikirannya sesuai dengan salah satu metode yang ia gandrungi. Atas dasar inilah mengapa sering terjadi kasus : berapa orang kritikus bertengkar masalah nilai sebuah karya sastra tertentu. Suatu pertengkaran yang disebut polemik di mana tidak ada pakar sastra yang bakal mampu menjadi hakim atau minimal melerai alias mendamaikan perang pena tersebut.

Menguak karya-karya cerpen, novel dan puisi, pada hakekatnya kita mencoba mengungkap dunia misteri berhubung terdapat banyak aliran penulisan yang semuanya dapat disederhanakan menjadi tiga katagori : aliran bersifat transparan dan yang prismatis dan satu lagi yang bersifat silhuet/abstrak. Dengan kalimat lain : karya sastra itu tidaklah seragam. Berangkat dari kenyataan ini maka kita tak menjadi heran; bahwa pihak penyair ( Goenawan Mohamad, Sapardi Joko Damono misalnya ) yang kok tidak mampu menjelasterangkan isi dari sajak-sajak yang digubahnya. “Apa gunanya saya menulis puisi apabila isinya dapat diuraikan secara prosais !” cetus Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya. Begitu pula halnya cerpen, secara garis besar terdapat tiga aliran sesuai dengan gaya perintisnya masing-masing : Anton Chekov, Guy de Maupassant dan Franz Kafka.

Meskipun makna suatu kritik sastra relatif sifatnya, kehadiran kritisi sastra adalah penting : para penyair dan pengarang memperoleh hikmah dari kritik sastra yang mereka tulis, berkenaan dengan perkayaan wawasan seputar penciptaan karya sastra, paling tidak para sastrawan dilecut kesadarannya untuk memahami teori sastra maupun sejarah perkembangan kesusastraan dunia sehingga bakat alam yang dimiliki akan bergandengan dengan intelektualisme. Dua komponen yang seyogianya digenggam oleh seseorang yang berpredikat penyair atau pengarang. Berkat pemilikan intelek selaku intelektual maka seseorang di samping menciptakan karya sastra, masing-masing nantinya bakal mampu pula nimbrung dalam polemik dalam bingkai upaya meletakan suatu masalah pada proporsinya yang benar. Atas dasar inilah mengapa dalam bidang kritik sastra hadir isitilah “kritik atas kritik” : suatu pembelaan diri yang positif dari pihak penyair/pengarang yang buah karyanya dikritik baik secara langsung maupun tak langsung.

Sedangkan di dalam buku antologi cerpen terhimpun sejumlah cerpen yang masing-masing punya keunikan tersendiri dan ditopang oleh gaya bercerita (style) yang cukup memikat sesuai dengan tuntutan karya prosa : mengarang fiksi adalah suatu seni bercerita

CERPEN

Putu Arya Tirtawirya

ANGIN LAUT

Jejak langkah kami di pasir yang basah semakin panjang. Sebagian telah terhapus oleh lidah ombak yang menggapai pantai. Dan apakah lagi yang mesti kuucapkan kalau semua telah kubeberkan seperti kartu-kartu terbuka berserakan di depan matanya? Jadi aku cuma melangkah dan melangkah dan mendengar kemerduan suaranya yang membungkus makna kalimat-kalimat yang dilontarkannya. Perempuan memang aneh, teramat kaya akan perbendaharaan bahan percakapan apabila ia telah menaruh percaya terhadap seorang lelaki dan lebih aneh lagi ia akan lantas bungkam kalau kita menutup telinga pada omongan-omongannya yang sepele, — baginya semua adalah sama penting dan patut didengarkan!
“Rambutmu semestinya sudah dicukur,”ujarnya sambil melangkah dan melirik kepadaku.
“Aku belum pernah punya uang,”jawabku dengan nada seloroh.
Wening tertegun kemudian menunduk membuka dompet kulitnya dan sebuah cermin bundar sebesar uang logam ringgit Belanda tampak berkilap memantulkan cahaya matahari sore. Dan aku memandangi renda blouse putihnya di arah liontin emasnya dan berpikir betapa sehat anakku nanti karena bundanya memiliki payudara yang subur. Rupanya, Wening tahu apa yang tengah kupikirkan, dia ketawa seraya mengulurkan tangan kanan.
“Matamu seperti orang yang tak pernah melihat perempuan saja. Nih untuk ongkos cukur!”
Aku ikut ketawa dan memasukkan uang yang disodorkannya ke dalam saku bajuku sambil melangkah lagi menyusuri pantai.
“Sekali tempo ingin aku mentraktirmu, Wening. Kemarin aku menerima honorarium tapi habis kubayarkan langganan majalah…Ayo kita ke situ,”kataku sambil menuding sebuah pohon ketapang yang rindang di atas pasir kering.
Aku melemparkan pantat di atas pasir dan bersandar di batang pohon ketapang itu. Dan Wening membungkukkan tubuhnya sejenak, memeriksa bersih tidaknya pasir yang akan didudukinya. Liontinnya berayun dengan lambannya sejenak. Aku lalu menyapukan pasir yang diperiksanya itu dengan tangan sambil berpikir : alangkah banyaknya seorang wanita punya bagian-bagian tubuh yang bersex-apeal.
“Honor cerpenmu yang mana kau terima kemarin ?” tanya Wening datar sambil mengeluarkan sebungkus jajan dari tas plastiknya yang putih. Aku lalu menjengkau sebuah onde-onde.
“Entahlah, aku belum tahu. Naskah-naskah cerpenku numpuk di majalah itu. Pada strook wesel tak disebutkan cerpenku yang mana. Sayang aku tidak berlangganan majalah tersebut. Gajiku akan habis di majalah saja kalau semua majalah harus kulanggani.”
“Tidak dikirimi nomor bukti ?” celetuknya dengan menggigit pisang goreng dengan giginya yang putih seperti nasi itu.
Suara tawaku ke luar dari hidung.”Redaksi rupanya menganggap para pengarang iseng-iseng menulis cerpennya. Jadi persetanlah mengirimi aku nomor bukti,”jawabku dengan sedikit mangkel.
“Ayok pisang gorengnya,”Wening menggeser bungkus jajan dari kertas itu”Cepatnya lembek, —tadi masih panas-panas kita beli.”
Pisang goreng tanpa diiris. Pisangnya itu kuambil sebuah dan kemudian sengaja kusentuhkan sejenak ke ciincin Wening sebelum kumasukkan ke mulut. Wening yang sedang bersitumpu dengan tinju yang dihiasi cincin pakai permata mirah lantas memukulku kemudian menatapku dengan wajah jenaka.
“Tak kusangka kau nakal, ya!”
Wajah segera kupalingkan kea rah laut. Air laut, elang laut dan perahu nelayan, —semuanya mengingatkan aku pada “The Old Man and The Sea,”—nya Ernest Hemingway.”Wening,”ujarku perlahan tanpa menoleh ke arahnya.
“Apa!”, jawabnya dengan nada seloroh.
Aku terpaksa menoleh ke arahnya. Wening sedang melap bibirnya dengan setangan. Mataku terpaku sejenak pada tahilalat dekat hidungnya.”Kalau kita kawin bulan depan gimana,” tanyaku datar dan tanpa kaku-kaku.
Wening menatap laut yang terhampar di depan kami: beberapa orang lelaki dan perempuan dewasa melintas ke Utara sambil menoleh ke arah kami. Dan matahari sore du tiga jengkal terpacak di atas horizon laut.
“Bagaimana,”ujarku lagi seraya menjengkau onde-onde sebesar buah salak itu lagi.”Gaji kita masa tidak cukup untuk biaya hidup yang sederhana.”
Wening cuma mengejapkan mata, kutahu pandangannya tidak acuh pada panorama laut yang terbentang di depannya.”Apakah kita tidak terlalu muda untuk kawin ?”cetusnya tiba-tiba.
“Kau delapan belas dan aku dua puluh satu, —terlalu muda bagaimana maksudmu ?”
“Mengapa kau cepat-cepat mau kawin ?”ujarnya lagi dengan polos.
“Biar cepat tidur di sampingmu!”, kataku dalam hati. Aku mengetawai kenaifannya mengajukan pertanyaan itu.
“Ajip Rosidi toh kawin di bawah dua puluh,”kataku pasti dan tegas.
“Soalnya, aku takut kehilangan kau, Wening!”
Wening berpaling dan mengerutkan dahinya yang dijumbai oleh anak rambut yang berkibar pelan. “Aku akan lari ke mana sih!”, katanya dengan tegas pula. Nada selorohnya dalam berkata itu makin mempercantik wajahnya dalam pandangan mataku. Dan gelora darah mudaku menyebabkan aku beringsut mendekatinya lalu menopangkan jemari tangan ke pundaknya.
“Aku percaya padamu Wening. Tapi apa yang perlu kita tunggu lagi ? Rumah aku sudah punya. Perabot rumah tangga cuma tinggal melengkapinya saja. Kita sudah bekerja, —walau misalnya kau berniat berhenti kerja, kurasa penghasilanku takkan membingungkan kita. Wening, aku, —aku terlalu mencintaimu.”
“Ah dilihat orang nanti kak!”, Wening menggelinjang ketika tengkuknya yang putih itu kucium dan dia stengah meronta sewaktu bahunya kutarik ke belakang dan mengecup bibirnya yang mungil itu.
Pemberontakannya menyadarkan diriku yang tengah dilingkupi nafsu, bahwa kami tidak berada di tempat sepi. Seperti per, tubuhnya melantun kembali ke depan seperti semula. Wangi bedak dan aroma keringat wanita tambah tak menyabarkan hatiku untuk cepat-cepat melangsungkan perkawinan.
“Bagaimana Wening ?” tanyaku sambil memperbaiki letak blousenya di bagian punggungnya. Dan Wening bangkit seraya mengibaskan roknya dengan pelan, menjatuhkan butir-butir pasir yang melekat.
“Ayok habiskan jajan itu, kemudian mari kita pulang,”jawabnya, menyimpang dari arah pertanyaanku yang pokok.
Sisa jajan kubungkus kembali dan kutolong memasukannya ke dalam tas. Dan tatkala melangkah ke tepi laut, kami lihat pasangan-pasangan yang tampak melintas beberapa waktu yang lalu ke Utara kini telah balik kembali sonder menoleh ke arah kami. Jejak-jejak kaki mereka kami tumpuki dengan jejak kakikku bersama Wening yang berjalan gontai di belakang mereka itu.
Debur ombak masih terdengar sayup sewaktu kami tiba di pintu pekarangan. Kedua orang tua Wening biasanya duduk-duduk di teras rumah kala senja. Tapi tak tampak mereka sewaktu kami melangkah di halaman depan.
“Ayoklah duduk dulu,”kata Wening sambil melangkah ke atas teras.
“Ah tak usah,”jawabku seraya beranjak ke samping rumah untuk mengambil sepeda.
“Yo!”, cetus Wening, ia tertegun di depan tembok teras memandang sayu ke arahku. “Pulang ?”
“Mana orang tuamu ?”kataku sambil menuntun sepeda Phoenix. “Sampaikan salam pamitku pada beliau.”
Wening turun lagi ke halaman menghantarku sampai di pintu halaman. Sambil melangkah aku merogoh saku baju kemudian mengacungkan selembar ribuan yang ia berikan tadi di pantai.”Aku cuma ingin mengujimu, Wening. Semua uang yang selama ini kau berikan tak pernah kupakai,” kataku sambil menyandarkan sepeda di pinggang dan merogoh saku belakang pantalon. Sebuah amplop bekas amplop-retour salah satu cerpenku aku keluarkan dan kuperlihatkan padanya, betapa penuh berisi uang.
“Semuanya adalah uangmu,Wening. Kuharap kau mau menerimanya kembali. Dan barangkali besok aku tak sempat ke mari. Aku akan menghadiri upacara perkawinan seorang temanku sekerja….”
Tapi Wening tidak mau menerima uangnya itu.”Aku sungguh kecewa sekali, ternyata kau tak menggunakan uang pemberianku. Kau telah membuatku sedih, justru menjelang perkawinan kita….sebulan lagi katamu tadi ?” Mata Wening yang hitam itu menatapku tajam-tajam dengan keseriusan yang tak kuduga sama sekali. Darahku seolah tersentak mendengar ucapannya yang terakhir itu dan krasakan kejapan kelopak mataku tambah cepat dar biasa.
“Wening! Kau telah membahagiakan aku senja ini. Baiklah, biar kuhabiskan nanti di hari Minggu, —kupakai mentraktirmu!”, ujarku sambil ketawa. Dan Wening ikut ketawa dan melambaikan tangan.

***
1984


CERPEN

Putu Arya Tirtawirya

GIGI

Dalam bingkai menyajikan topik dunia perdukunan di tanah air, selaku koresponden aku diberikan tugas menelusuri kehidupan orang-orang (“siapa & apa”) yang mengecimpungi ilmu hitam alias black magic di wilayah liputan beritaku. Dan kami kemalaman di kampung pinggiran hutan Pinus tersebut.
“Kita nginap saja di sini—siapa tahu ada tambahan-tambahan bahan yang anda butuhkan”, bisik teman yang mengetahui “peta” kelurahan wilayah setempat. Aku setuju dan kami pada akhirnya mengangguki tawaran tuan rumah, sang dukun, yang menyarankan kami jangan pulang.
Pria tua yang gondrong dan kurus kerempeng itu telah mengontak beberapa orang tetangga—para teman akrabnya—agar mereka datang ngobrol-ngobrol sambil minum tuak dengan sedak gorengan daging kera. Sore tadi pembantunya, seorang pria pendek gempal dengan rambut agak gondrong, berhasil menangkap dua kera besar dalam ladang ketela yang terletak di belakang rumah. Rumah yang beratap genteng-bambu menghadap lembah yang dipencari kampung-kampung. Rumah-rumah penduduk pada beratap genteng-bambu—cocok dengan kondisi cuaca yang boleh dikatakan saban hari turun hujan meskipun tidak lebat. Dan rumah Pak Dukun berlatarbelakang hutan Pinus yang dijejali semak belukar serta aneka pepohonan kecil yang digelayuti kera-kera.
“Kedua kera itu sedang berusaha mencabut batang ketela dengan kedua tangannya di arah punggung ketika saya pergoki…Tumben saya mengalami ada binatang yang bisa juga terkena seputer”, pria pendek itu memberi penjelasan padaku sebelum dia berangkat melaksanakan perintah mengontak tetangga.
Menurut keterangan temanku, seputer merupakan salah satu kekuatan ilmu hitam. Pekarangan yang berisi seputer menyebabkan maling yang masuk bakal mondar-mandir melulu—kena pukau dan tidak menemukan jalan kembali pulang. Begitu pula kera-kera yang tertangkap itu, konon mereka tidak mampu melarikan diri. Mereka mondar-mandir saja dalam ladang ktela. Kemudian menyerah.
“Setahu anda binatang bisa juga kena seputer ?”, tanyaku.
“Baru kali ini aku mendengarnya. Biasanya pencuri-pencuri malam hari kena seputer….”, jawab temanku seraya meranjak ke rumpun pisang. Kencing.
Kamar tamu yang cukup luas dibenderangi sinar lampu stormking merek Kupu-kupu. Sejumlah tikar-pandan tergelar di lantai. Dan kami semua duduk melingkar meghadapi jerigen-jerigen penuh tuak, gelas-bambu serta piring-piring yang penuh goregan daging kera. Aromanya semerbak gurih—barusan digoreng untuk keduakalinya biar disantap sebagai sedak tuak. Pun ada piring besar berisi pelecing kangkung. Ada piring-piring berisi gorengan kacang tanah. Dan sajian lain berupa ketela pohon yang direbus. Putih gembur, uap panasnya masih mengepul dan melayang bercampur asap-asap rokok.
Jam demi jam berlalu dan pengaruh alkohol sadapan bunga-enau tersebut mulai berperan. Aku yang tidak terbiasa minum tuak, beberapa gelas-bambu berhasil kukosongkan—isinya mengguyur kerongkongan dan tergenang dalam usus besar. Denyut-denyut di kepala lambat laun mengikis sikap pemaluku yang berlebihan—keterangan-keterangan yang telah kuperoleh dari dukun-dukun lain aku lontarkan pada hadirin terutama pada Pak Dukun yang mulai teller. Aku minta pendapat beliau. Seperti dakocan milik anakku, Pak Dukun ketawa terkekeh-kekeh sambil tubuhnya oleng ke depan dan ke belakang. Memberi tanggapan maupun jawaban dengan tidak lupa menyelipkan komentar-komentar mendeskriditkan dukun-dukun lain. Tampak dia teramat memitoskan sang ayah, almarhum, yang telah menurunkan ilmu padanya. Sang ayah yang meninggal setahun yang lalu—kena sambaran petir sewaktu menghadapi tugas jadi pawang hujan. Dikalahkan oleh lawan yang ingin meredakan sang hujan. Keterangan ini tentunya tidak keluar dari mulutnya, informasi kuperoleh dari orang lain sebelum aku mengunjunginya siang tadi.
Orang-orang sekitarku tampak ramah-ramah berkat sikapku yang ringan mengangguk mengiyakan maupun terpana oleh setiap ocehannya. Aku dan temanku merupakan figur pendengar yang baik. Aku tidak mau mencari musuh, apalagi statusku sebagai wartawan yang mau tak mau mesti mengorek informasi sebanyak mungkin. Dan aku menyadari, tamu yang duduk sebelah kiriku yang berkumis tebal yang senantiasa menenggak tuaknya secara tuntas kemudian basa-basi menawari teman-teman lain sebelum dirinya menuangi gelas bambunya sendiri, dia sengaja bertanya pada tuanrumah sekedar menambah informasi diriku tentang apa yang pernah dia dengar. Perihal kesaktian almarhum yang berkaitan dengan skandal istri muda beliau tempohari.
Dan tuanrumah dengan gaya khasnya mengekeh-ngekeh kemudian mengisahkan kembali peristiwa tragis tersebut. Sang ibu tiri, istri muda almarhum diam-diam menjalin hubungan cinta dengan pria dari kampung sebelah yang rupanya mampu menggiringnya ke pengalaman orgasmus. Suami sendiri yang berusia begitu tua rupanya tidak memberinya kepuasan seksual. Cuma memberinya ilmu untuk pintar jadi leak—mengubah wujud diri jadi binatang mana suka : babi, kera, anjing, kucing dan sebagainya. Dan kebetulan pria yang diajaknya berkencan itu adalah calon dukun yang sedang mendalami ilmu hitam. Entah bagaimana, suatu malam di bawah sinar bulan di ladang belakang rumah, dua ekor kera jantan dan betina tampak sedang asyik bersetubuh. Hal itu disaksikan oleh almarhum yang kencing di tempat terlindung di belakang rumah. Dan dia mengetahui kera-kera itu bukanlah binatang biasa tapi….yang betina adalah sang istri mudanya sendiri.! Gelora kemarahan melingkupi dirinya dan langsung mengutuk keduanya agar tetap jadi kera. Mereka terkejut dan melarikan diri ke dalam hutan. Dan peristiwa tersebut diungkapkan oleh sang ayah menjelang menghembuskan nafas terakhir, setahun yang lampau.
Berjam-jam duduk bersila, lantaran tak biasa duduk bersila lama-lama menyebabkan sekujur kakiku pegal-pegal dan ditambah lagi keinginan kencing yang sengaja kutahan-tahan menunggu selesainya tuanrumah berkisah.
Aku cepat-cepat permisi ke belakang, akan kencing. Dan dalam perjalanan kurang lebih sepuluh meter menuju tempat pembuangan sampah, pikiranku bergalau. Mana kepala berat berdenyut-denyut akibat alkohol kampungan yang bernama tuak, kemudian dirong-rong pertanyaan tak terjawab seputar misteri hilangnya kedua insan yang berbeda jenis kelamin tersebut. Apa iya ? Pun melintas-lintas dalam benakku keunikan masyarakat setempat—para lelaki warga kampung semuanya gemar mengunyah sirihpinang. Gigi mereka sehat-sehat tetapi dironai merah kehitaman. Hanya kalangan anak-anak dan muda remaja yang bergigi putih-putih. Minum tuak dan mengunyah sirihpinang sudah membudaya.
Seekor anjing tua berbulu putih kotor tampak berada di atas tumpukan sampah. Dia menoleh sejenak ke arahku kemudian dia tidak ambil peduli pada kehadiranku. Sambil mengangkang aku mendongak memandang bulan sepotong di langit. Tiba-tiba sekujur tubuhku merinding. Aku menolehi sekitar tapi tidak ada apa-apa. Mungkin akibat kebanyakan minum tuak. Mataku memandang sang anjing. Dia asyik menjilati dan mengerkah sesuatu. Ingin tahu menyebabkan aku memperhatikan dengan cermat apa yang dimakannya. Ternyata kepala kera. Tuan rumah membantai dua ekor kera. Digoreng. Kepala kera yang satu lagi tampak tergeletak tidak jauh dari ekor anjing putih itu—bersandar di ember plastik hijau yang rusak. Kembali kurasakan sekujur tubuh merinding. Mata kupejamkan seraya menggelengkan kepala dengan maksud melenyapkan sejenak pengaruh alkohol. Apakah mataku tidak salah lihat ? Sepintas seperti ada wajah wanita cantik di arah ember plastic rusak tersebut. Dan begitu mataku terbuka kulihat kepala kera biasa.
Mata kualihkan ke kepala kera yang sedang dikerkah sang anjing. Tiba-tiba perutku mual dengan hebatnya—gigi anjing mencabik-cabik bibir kera itu dan….diterangi sinar bulan tampak gigi-gigi sang kera berwarna merah kehitaman!!
Membludak isi ususku ke luar. Muntah hebat. Aku mencari pegangan di batang pohon kelor, tidak jauh dari tempatku kencing.
“Kenapa?!....kenapa ?!”
Temanku rupanya mau kencing pula, dia menyusulku. Dia kaget dan cepat memijit tengkukku. Dia tidak tahu persoalan.
Aku muntah lagi sambil merentangkan tangan ke arah sang anjing.
“Kera itu bukan kera tulen!”
Dan tidak lama berselang kudengar dia ikut muntah hebat pula.
****

Horison/XXIV/602/1990


CERPEN
Riyanto Rabbah
Pulang

“Jika mengingat kota ini, aku selalu rindu untuk kembali,” kata Tohar. Yuyun mencoba mengeratkan pegangan pada dinding perahu ketika ombak keras tiba-tiba menerjang. Badan perahu bagian depan terangkat. Ia pun terhempas ke belakang diterpa percikan ombak. Tak sengaja, tangannya memegang lengan Tohar. Tohar mendiamkannya agak lama setelah akhirnya Yuyun tersadar begitu pemilik perahu memperlambat kecepatan motornya. Uup! Hari rembang petang. Mereka tiba di pinggir pulau kecil bernama Trawangan.
Di bibir pantai, bening air laut seperti sebuah telaga. Mereka bisa memandang taman laut di bawahnya dipenuhi karang dan ikan-ikan warna warni tanpa harus menyelam. Nampaklah bayang-bayang setiap orang yang melihat ke bawah menyatu dengan makhluk laut di bawah sana. Terlebih ketika petang datang, ombak berkurang dan hanya menyisakan riak-riak kecil laksana nyanyian yang tak pernah berhenti.
Trawangan belum banyak berubah. Kendati hampir lima tahun Tohar tak mengunjunginya. Tepatnya ketika ia harus memilih Jakarta sebagai tumpuan hidup. Tohar tidak hanya meninggalkan daerah ini, keindahan alamnya, dan kawan-kawannya, melainkan juga meninggalkan seseorang yang memberinya kenangan manis. Di Jakarta, tentu ia tidak bisa merasakan ketenangan seperti alam Trawangan. Walau kerusuhan beberapa waktu lalu sempat mengusik hatinya, namun tidak terlalu membuatnya cemas karena orang itu adalah warga setempat. Konflik SARA selalu mempersoalkan identitas. Bukankah ini sebuah kondrat, yang pada akhirnya setiap pertanyaan kembali pada pertanyaan yang lebih besar.
Seperti biasa, Tohar menjepretkan kameranya ke arah deretan wisatawan yang terbujur pulas di atas pasir putih. Tubuh putih setengah bugil itu seperti halnya dirinya, yang merasakan suasana berbeda dibandingkan Jakarta. Walau langit memiliki satu matahari, matahari berhiaskan pasir putih, sedikit bebukitan dan udara yang bersih -- membuat matahari Trawangan bisa berwarna ungu. Karena itulah ia memahami, orang-orang selalu berbondong-bondong datang ke Trawangan melihat kesunyian, menikmati kesendirian, walaupun mereka hanya berbekal sebuah buku untuk dibaca di bawah terik matahari yang kehilangan panasnya.
Ini merupakan hari ketiga masa cuti Tohar setelah beberapa hari sebelumnya ia dianggap berhasil membeberkan perselingkuhan pejabat negara dengan seorang wanita keraton. Bagi Tohar sendiri, investigasinya itu cukup memuaskan. Tidak sembarang jurnalis bisa melakukan peliputan semacam itu. Kendati pejabat negara itu membantah apa yang ditulisnya, pengakuan dari wanita-wanita cantik bagi Tohar sudah cukup sebagai sebuah laporan yang memenuhi standar pemberitaan. Setelah menyelesaikan tugas itu, Tohar merasa harus meluangkan waktunya untuk melihat sesuatu yang berbeda dari situasi politik dan kriminal yang masih saja menyelimuti Jakarta.
Kebetulan, nomor telepon Yuyun yang bekerja pada sebuah hotel bintang selalu ia simpan sejak mereka berpisah. Mereka senantiasa melakukan kontak dan berbicara seperlunya menanyakan kabar. Termasuk ketika Tohar menyatakan keinginannya menghabiskan masa cuti di Lombok. Yuyun pun berharap hal itu terjadi setelah sekian lama tidak bersua.
“Apa yang selalu membuatmu rindu pada daerahku?” Yuyun menghempas keasyikan Tohar memandangi keelokan alam.
“Ow, aku melihatnya sebagai daerah yang masih perawan. Jauh dari hiruk pikuk, jauh dari bising. Ada banyak kawasan indah di sini, ada banyak cerita, tetapi yang selalu membuatku rindu selain pantai dengan pasirnya yang putih, adalah sosok gadis cantik. Dan itu adalah kamu.”
Ini pujian pertama yang ia peroleh setelah sekian tahun pujian serupa tak pernah diucapkan seseorang. Yuyun tertunduk malu. Rasanya baru pertama ia mengenal Tohar. Tohar selalu menyukai reaksi Yuyun seperti itu. Dengan begitu, ia bisa mengamati pipinya yang bersemu merah dan bibirnya yang tipis tertutup rapat seperti memendam sebuah hasrat.
“Kau selalu begitu. Memuji dan tertawa sendiri. Kau membuatku malu, namun kau senang mengamatiku seperti itu.” Yuyun mencoba menegakkan lehernya. Bola matanya pun berbenturan dengan mata Tohar yang sedari tadi mengamatinya. Angin berdesir. Yuyun menghela nafas.
“Oya, bagaimana dengan perkerjaanmu?” Yuyun mengalihkan percakapan, “Aku selalu mengikuti laporanmu di majalah setiap minggu majalah itu terbit. Aku suka tulisanmu. Kau membongkar kasus perselingkuhan seorang pejabat negara. Hebat dan mengagumkan sekali. Barangkali jika di sini, kau tak berkembang sepesat di Jakarta.”
“Mungkin iya. Di sana banyak tantangan. Kita harus mengikuti irama, kalau tidak, akan terlindas oleh yang lain. Keadaan Jakarta telah mendidikku untuk bersaing dan bersaing. Kita dikejar waktu. Setiap waktu selalu diikuti isu. Mungkin itu yang membedakan antara di sini dan di sana."
“Lantas bagaimana akhir cerita perselingkuhan itu?”
“Seperti biasa. Sebuah cerita hanya akan berhenti di sana, apalagi yang menimpa seorang pejabat negara. Pengakuan berhenti sebagai pengakuan. Namun bagi awak media, suguhan semacam itu sudah cukup untuk menggambarkan tentang sesuatu hal yang menimpa bangsa kita.”
“Kau tidak takut akan selalu diawasi?”
“Di negeri ini kita tak lagi tabu menduga-duga pejabat negara berlaku aneh, mencaci maki pejabat negara, menyumpah bahkan mendoakannya agar segera mati. Segala penilaian apapun bisa diberikan oleh siapa pun. Pejabat negara bukan lagi sosok keramat yang tak bisa dijamah, atau sosok manusia dengan keterbatasannya mengurus negara, sebab bisa jadi seorang pejabat negara seperti sebuah bangku tempat orang-orang duduk dan kentut seenaknya.”
Yuyun hanya bisa termangu mendengar kata-kata Tohar.Tohar kemudian seolah tersadar sedang bicara bukan dengan sesama jurnalis, melainkan dengan seseorang yang berperangai lugu. Mereka terus berjalan tanpa tujuan. Ketika sebuah cidomo* melintas, Tohar menyetopnya persis ketika matahari sudah beranjak ke pembaringan dan menciptakan nyala merah yang semakin redup.
***
Tohar mengenal Lombok sejak duduk di bangku kuliah semester lima. Kebetulan, seorang kakaknya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam pengiriman tembakau. Ketika pertama kali dikontak, Tohar menolak untuk datang. Ia membayangkan Lombok masih berupa hutan, dan sebagian berupa daerah persawahan dan perkebunan. Kedua orangtuanya pun menafsirkan hal serupa, sehingga Tohar dibekali berbagai kebutuhan mulai dari sabun cuci, supermi, sabun mandi, dan pasta gigi.
Sesampai di Lombok, kakaknya tertawa ngakak melihat bawaan Tohar. Demikian halnya dengan Tohar yang semula tidak menyadari keadaan Lombok yang jauh dari dugaannya. Pusat-pusat pertokoan tumbuh subur. Hotel-hotel bintang, kendati tidak sepesat daerah tetangganya, Bali, sudah bercokol di dalam maupun luar kota. Namun alamnya masih menyimpan keasrian. Di perkotaan masih dijumpai pohon-pohon cemara yang menjulang, jajaran pohon asam, yang membuat udaranya masih terasa sejuk.
Warna Bali nampak di seputar Kota Mataram. Perkampungan Bali bisa dilihat dari pinggir lewat bentuk gang-gang sempit yang dibatasi dinding berusia berabad-abad. Kehadiran warga Bali memberikan inspirasi tersendiri tentang keterbukaan masyarakat Lombok seperti halnya keterbukaan masyarakat Bali yang penduduknya semakin heterogen dan egaliter. Warna Bali kerap pula dijual sebagai sebuah produk memperkenalkan kepariwisataan Lombok. Ini tidak terlalu mengherankan mengingat peninggalan berupa taman raja yang tetap mempesona hingga sekarang.
Persentuhan dengan Bali sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Tidak mengherankan ada kesamaan cara berpakaian dalam pelaksanaan kegiatan adat. Demikian halnya dengan kesenian yang merupakan bentuk pembauran antara dua etnis itu. Namun masyarakat Lombok tidak bisa menampik pula pengaruh Jawa. Puluhan nama tempat atau desa di daerah ini hampir sama dengan nama tempat di Jawa. Perpaduan etnis lebih memahamkan Tohar tentang adanya kesetaraan antar manusia.
Di setiap pojok jalan jika malam menjelang, nampak pernik-pernik lampu pedagang kaki lima yang menjual ayam taliwang. Aroma gorengan dari hidangan ini seperti lahir dari tangan yang sama, walau pun dengan pedagang yang berbeda. Mungkin orang bisa memahami produk Mc Donalds atau Kentucky yang memiliki cita rasa serupa karena ia lahir dari satu produk dalam sebuah manajemen perusahaan. Namun sangat mengagumkan melihat produk taliwang yang berasal dari rumah-rumah penduduk, menyuguhkan menu ayam dan pelecing yang memiliki rasa yang nyaris tak berbeda.
Sebagai mahasiswa, aktivitas Tohar tidak semata di kampus, melainkan juga di luar kampus. Ia ikut serta dalam gerakan mahasiswa yang membela petani tergusur baik di Lombok Selatan maupun di Gili Trawangan. Membawa para petani melakukan aksi demonstrasi merupakan keseharian Tohar. Karena itu pula, Tohar mengenal Yuanawati, putri salah seorang tokoh petani yang akrab dipanggil Yuyun. Pembelaan mahasiswa terhadap para petani yang tanahnya tergusur untuk pembangunan hotel berbintang membuahkan hasil. Bahkan Tohar bisa memperjuangkan Yuyun untuk bisa bekerja pada hotel tersebut.
Setelah menamatkan kuliahnya, Tohar kehilangan banyak kawan seperjuangan. Namun hubungan Tohar dan Yuyun mampu mengusir kesepian yang mendera.
***
Sungguh puas Tohar bisa menikmati alam Lombok. Seperti memutar episode awal, ia berjumpa pula dengan petani yang sempat dibelanya, dan petani rumput laut itu kini telah menjadi pengusaha pariwisata yang sukses. Dan, Tohar memahami, perjuangannya dulu tidak cukup bersih. Ia pun menerima imbalan dari petani berupa tanah seluas sepuluh are yang kemudian dijual kembali ketika Pemda akhirnya mengabulkan tuntutan petani atas tanah yang diperjuangkannya. Di atas tanah itu kini telah berdiri kafe yang dilengkapi dengan sebuah diskotek.
Hari terakhir di Trawangan, membuat waktu terasa singkat. Sesingkat sebuah cerita. Kemarin berjemur di atas pasir, kemudian berenang, snorkeling dan diving, dan kemudian berada di sebuah kafe. Malam yang indah.
Ditingkahi irama musik yang mendayu-dayu, Tohar menatap wajah Yuyun yang nampak lebih cantik dari biasanya. Seteguk demi seteguk bir sudah masuk ke tenggorokannya. Para waiter lalu lalang. Tamu-tamu asing pun berdatangan. Malam semakin larut. Namun semakin terasa keramaian di pulau kecil itu.
“Kata orang, pertemuan terakhir akan memberi kenangan untuk pertemuan berikutnya. Bagaimana kita bertemu nanti, tergantung bagaimana kita mengakhiri pertemuan kita,” ujar Tohar. Yuyun hanya menatap wajah Tohar yang nampak legam akibat pengaruh bir yang merembet ke kepalanya. Bola mata Tohar pun mulai memerah.
“Benar. Aku juga merasakannya seperti ketika kita berpisah dulu... Apakah kau masih ingat, dulu kita bertengkar sebelum berpisah? Itu gara-gara kau memilih Jakarta, sedangkan aku menginginkanmu tetap di sini.” Terdiam. “Setelah itu, kau akhirnya menikahi gadis lain di sana.”
Tatapan Tohar tak mengenakkan, kemudian katanya, “Walaupun begitu, aku selalu ingat kamu, kan? Aku mencintai kamu.” Tohar menggenggam jemari Yuyun yang lentik, getaran halus merambat ke dalam dadanya, seperti sepoi angin yang mengelus tengkuknya. Tohar menatap kosong pada ruang lain, sebuah ruang yang hanya bisa ia rasakan sendiri kehadirannya. Seorang gadis, juga seorang jurnalis, seorang yang menganut kebebasan. Ia menjadi ibu dari seorang anaknya. Seorang anak perempuan yang lahir dari kebebasan, tidak menjadi bunga dalam hidupnya, kecuali sebagai sebuah pajangan sesaat yang kemudian terlupakan oleh berbagai aktivitas. Seorang yang tak pernah dicintainya dengan tulus, benarkah bisa disebut penghias hari-harinya? “Bagaimana kabar istri dan anakmu?” Pertanyaan itu seperti memantul kembali ke dalam cahaya mata Yuyun. Tohar tak menjawab dengan segera. “Apakah kau menyadari kau di sini bersamaku selama beberapa hari. Kau tak ingat mereka menunggumu di sana?”
“Aku biasa saja seperti halnya kau merasakannya. Aku juga biasa saja seperti juga dia merasakan aku pergi. Dia tak pernah menanyakanku. Begitu juga aku tak pernah menanyakannya. Jadi tak ada sesuatu yang perlu dipertanyakan tentang dia.”
“Tapi tidakkah kau ingat profesimu yang suci itu? Tidakkah itu membuatmu gundah. Kau berjalan dengan seorang gadis selama beberapa hari? Padahal beberapa hari lalu kau bongkar kasus pejabat negara itu dengan perasaan yang sangat memuaskan.” Tohar tersenyum kecut.
“Aku di sini bukan sebagai profesiku, sayang... tetapi sebagai diriku, sebagai manusia dengan kelemahannya.”
Sesaat Yuyun tercenung. Ia tak memahami jalan pikiran Tohar. Sebelum mengutarakan sesuatu, Tohar tiba-tiba beranjak dan menggandeng lengannya. Yuyun tak menampik, menyambut ajakan itu secara refleks. Pada sebuah arena. Kenny G. memainkan saksofon. Mendayu-dayu di tengah cahaya lampu yang makin redup. Mereka dibimbing cahaya dan suara, pelan tapi pasti. Semakin merapatkan tubuh. Maju mundur, kiri dan kanan. Erat. Tak ingin kehilangan. Harum semerbak rambut itu melayangkan imajinasi Tohar. Membubung. Melayang.
“Apa yang kau takutkan sekarang,” bisik hati Tohar.
“Seperti sebuah hari baru. Seperti tak pernah terjadi apa-apa.” Tohar merengkuhnya.Mereka jalan sempoyongan. Tak jelas lagi mana ruang dan mana waktu. Jalanan sudah sepi. Langit tanpa bulan.
“Tak ada yang perlu kita takutkan, bukan? Kita seperti sepasang merpati yang terbang bebas. Kau menyukainya, sayang?” Tak ada jawaban. Desah nafas beradu. Sebuah kesunyian di sudut kamar dan sebuah malam, tempat yang jauh dari kepastian. Setelah itu, Yuyun pun terisak.

Glossary : Cidomo adalah alat transportasi pedesaan di Lombok

वार्ता Sastra



Launching “Equilibrium” dan “Pertarungan”
Di SMAN 1 Masbagik



Orang berbudaya baca sastra, itulah tajuk dari peluncuran buku antologi puisi “Equilibrium” dan cerpen “Pertarungan” karya Riyanto Rabah di SMAN 1 Masbagik, Minggu (17/2/2008). Acara yang diwarnai dengan pembacaan puisi oleh Winsa Prayitno, musikalisasi puisi oleh Wing Sentot Irawan serta telaah kritis dari Salman Al Farisi.

Acara yang mengundang ratusan pelajar SMA/MA di Lombok Timur ini merupakan yang pertamakali, khususnya dalam kaitannya dengan launcing buku. Panitia pelaksana yang juga guru Pembina seni sekolah setempat, Alex, menyatakan bahwasanya langkah yang diambilnya mnjadi bagian dari proses penyadaran tentang pntingnya karya sastra sehingga jumlah peserta dibatasi.

Dalam pandangan Salman Al Farisi, justru karya-karya Riyanto Rabbah dalam antologi tersebut kaya dengan nuansa Ketuhanan. Ada cara pandang tertentu yang dipilih penulis dalam melihat konteks persoalan. Misalnya, esensi keberagaman. Setiap karya yang ditulis merupakan akumulasi dari pengalaman hidup yang bersangkutan.

Salman memberikan pula motivasi bagi para siswa agar terus aktif menulis, karena tidak ada waktu yang sia-sia tatkala seseorang menuliskan sesuatu. “Tulis apa saja setiap hari, walau Cuma satu kata,”ujarnya. Hal itu merupakan salahsatu langkah untuk membiasakan diri menulis sebagai bagian dari hal fundamental yakni melatih kejujuran dan intelektualitas.

Beragam pertanyaan menyangkut sastra bermunculan tidak hanya dari kalangan siswa, melainkan juga dari kalangan guru. Pertanyaan itu misalnya menyangkut upaya menciptakan karya sastra yang baik hingga pada persoalan gaya penulisan yang menjadi kecenderungan para sastrawan. Doorprize pu menjadi bagian dari tanyajawab seputar sastra.

Winsa Prayitno yang hadir pada acara itu turut membacakan tiga buah puisi, sedangkan Wing Sentot Irawan memusikalisasi puisi berjudul “Sunyi” dan “Ingin Selalu Kucari Tepi” dengan iringan permainan gitarnya yang khas. Menurut rencana, even serupa akan digelar baik secara sengaja atau tidak disengaja di Taman Kota Selong agar siswa terbiasa dengan sastra. /ian/Religi-21-08/

Kamis, 05 Juni 2008

पुइसी-Puisi

Riyanto Rabbah

Tuhan

Tuhan berjalan diam-diam
Dibukakan pintu pelan-pelan
Tuhan ditulis diucapan
Dengan sopan.
Dalam mimpi
Tuhan di langit
Dalam terjaga
Tuhan di bumi
Merobek-robek pikiran
Di mana-mana Tuhan dicari
lalu
Dikucilkan

Di sini
Tuhan dilukis tiga dimensi
Pada patung-patung
Pada batu-batu
Pada asap kemenyan
Pada bau wangian

Di sini
Tuhan dibunuh tanpa peluh
dihidupkan lagi
Dipompalah nafas
lalu ditiup bagai lilin

Tuhan disebut-sebut
ditiadakan
Begitu gampang
Seperti kulit ari
Mati dan hidup lagi

/1990-2005/

Ibu

Aku mencari ibu
Tapak jejak itu seperti
Garis sebuah kolam
Di belakang rumah

Kutelusuri setiap ruang
Siapakah yang memanggil
Sedangkan orang-orang tertidur
Karena letih

:Ini segelas air putih
Untuk ibu
Kuambilkan dari kekuatan doa waktu
Dari puisi yang mengembara
Di segenap jalan
Kutempuh

Aku mencari ibu
Dalam jejakmu
Kuingat sebuah kolam
di belakang rumah
bertahun-tahun menunggu
sapamu

Equilibrium

Sesungguhnya kau berdiri
Di depan mata
Membaca katakata
Dalam sajakku

Sesungguhnya kau berdiri
Di depan mata
Mencampuri kata
Dalam sajakku

Kudengar percakapan-Mu
Dalam desir angin
Musim berganti
Kulayari laut perasaanmu
Dalam putaran musim
Segala mengalir

Sesungguhnya kau berdiri
Di depan mata
Membaca katakata
dalam sajakku

Pohon Tua

Inikah risau cahaya menghalau senja
Ada silau sedikit reda
merenda remang dalam terang
Ekor matahari terburai di kaki bukit
terseret kelam bayang-bayang

Ada pohon kering tak tumbuh tak luruh
Di lereng jeram melepuh. Hilang musim
Gugur daunnya tanpa lambaian
Tanah berbubuk abu
Udara berwarna kuning
hinggap di atas sehelai nafas
Tak jua memanjang ranting yang lumpuh
Memagut desiran angin yang hilang rindu
Selalu saja debu menyapu
melepuhkan kulit ari
seakan waktu berbilang pagi

“Apa yang mesti kukabarkan pada angin
Sedang semua kering luka. Berbisa
Tak dapat dibuang
Percuma dibilang
Nyanyian anjing tak nyaman untuk tidur
Detak jam dinding memutar ke kiri. Selalu
menghitung bayangan
Tak jua berhenti suara-suara mencibir itu
Anak-anak reformasi mengikatkan bendera
Tegak lurus.Tanpa tiang
di lengan jarum jam dinding
sambil menikam lambung tua ini”

Ada cendawan di atas luka musim sepi
Kupu-kupu tiada berkawan hinggap
Menari-nari

Minggu, 01 Juni 2008

Tips Menulis Novel Menurut Agnes Jessica :
“Saya mulai dengan membuat kerangka karangan yang memang diperuntukkan bagi novel tebal. Ceritanya walau panjang tetap padat dan berisi. Kerangka karangannya sederhana hanya berupa potongan kisah yang saya beri nomor. Misalnya nomor 1 sampaidengan 50. Dan satu nomor akan dikembangkan menjadi empat sampai lima halaman Saya merancang novel sampai tamat, walau belum dikembangkan. Jadi sebelum menulis saya sudah tahu akhirnya.”
lBersambung ke NoKtah Edisi Februari 2008