Kamis, 19 Juni 2008


CERPEN
Riyanto Rabbah
Pulang

“Jika mengingat kota ini, aku selalu rindu untuk kembali,” kata Tohar. Yuyun mencoba mengeratkan pegangan pada dinding perahu ketika ombak keras tiba-tiba menerjang. Badan perahu bagian depan terangkat. Ia pun terhempas ke belakang diterpa percikan ombak. Tak sengaja, tangannya memegang lengan Tohar. Tohar mendiamkannya agak lama setelah akhirnya Yuyun tersadar begitu pemilik perahu memperlambat kecepatan motornya. Uup! Hari rembang petang. Mereka tiba di pinggir pulau kecil bernama Trawangan.
Di bibir pantai, bening air laut seperti sebuah telaga. Mereka bisa memandang taman laut di bawahnya dipenuhi karang dan ikan-ikan warna warni tanpa harus menyelam. Nampaklah bayang-bayang setiap orang yang melihat ke bawah menyatu dengan makhluk laut di bawah sana. Terlebih ketika petang datang, ombak berkurang dan hanya menyisakan riak-riak kecil laksana nyanyian yang tak pernah berhenti.
Trawangan belum banyak berubah. Kendati hampir lima tahun Tohar tak mengunjunginya. Tepatnya ketika ia harus memilih Jakarta sebagai tumpuan hidup. Tohar tidak hanya meninggalkan daerah ini, keindahan alamnya, dan kawan-kawannya, melainkan juga meninggalkan seseorang yang memberinya kenangan manis. Di Jakarta, tentu ia tidak bisa merasakan ketenangan seperti alam Trawangan. Walau kerusuhan beberapa waktu lalu sempat mengusik hatinya, namun tidak terlalu membuatnya cemas karena orang itu adalah warga setempat. Konflik SARA selalu mempersoalkan identitas. Bukankah ini sebuah kondrat, yang pada akhirnya setiap pertanyaan kembali pada pertanyaan yang lebih besar.
Seperti biasa, Tohar menjepretkan kameranya ke arah deretan wisatawan yang terbujur pulas di atas pasir putih. Tubuh putih setengah bugil itu seperti halnya dirinya, yang merasakan suasana berbeda dibandingkan Jakarta. Walau langit memiliki satu matahari, matahari berhiaskan pasir putih, sedikit bebukitan dan udara yang bersih -- membuat matahari Trawangan bisa berwarna ungu. Karena itulah ia memahami, orang-orang selalu berbondong-bondong datang ke Trawangan melihat kesunyian, menikmati kesendirian, walaupun mereka hanya berbekal sebuah buku untuk dibaca di bawah terik matahari yang kehilangan panasnya.
Ini merupakan hari ketiga masa cuti Tohar setelah beberapa hari sebelumnya ia dianggap berhasil membeberkan perselingkuhan pejabat negara dengan seorang wanita keraton. Bagi Tohar sendiri, investigasinya itu cukup memuaskan. Tidak sembarang jurnalis bisa melakukan peliputan semacam itu. Kendati pejabat negara itu membantah apa yang ditulisnya, pengakuan dari wanita-wanita cantik bagi Tohar sudah cukup sebagai sebuah laporan yang memenuhi standar pemberitaan. Setelah menyelesaikan tugas itu, Tohar merasa harus meluangkan waktunya untuk melihat sesuatu yang berbeda dari situasi politik dan kriminal yang masih saja menyelimuti Jakarta.
Kebetulan, nomor telepon Yuyun yang bekerja pada sebuah hotel bintang selalu ia simpan sejak mereka berpisah. Mereka senantiasa melakukan kontak dan berbicara seperlunya menanyakan kabar. Termasuk ketika Tohar menyatakan keinginannya menghabiskan masa cuti di Lombok. Yuyun pun berharap hal itu terjadi setelah sekian lama tidak bersua.
“Apa yang selalu membuatmu rindu pada daerahku?” Yuyun menghempas keasyikan Tohar memandangi keelokan alam.
“Ow, aku melihatnya sebagai daerah yang masih perawan. Jauh dari hiruk pikuk, jauh dari bising. Ada banyak kawasan indah di sini, ada banyak cerita, tetapi yang selalu membuatku rindu selain pantai dengan pasirnya yang putih, adalah sosok gadis cantik. Dan itu adalah kamu.”
Ini pujian pertama yang ia peroleh setelah sekian tahun pujian serupa tak pernah diucapkan seseorang. Yuyun tertunduk malu. Rasanya baru pertama ia mengenal Tohar. Tohar selalu menyukai reaksi Yuyun seperti itu. Dengan begitu, ia bisa mengamati pipinya yang bersemu merah dan bibirnya yang tipis tertutup rapat seperti memendam sebuah hasrat.
“Kau selalu begitu. Memuji dan tertawa sendiri. Kau membuatku malu, namun kau senang mengamatiku seperti itu.” Yuyun mencoba menegakkan lehernya. Bola matanya pun berbenturan dengan mata Tohar yang sedari tadi mengamatinya. Angin berdesir. Yuyun menghela nafas.
“Oya, bagaimana dengan perkerjaanmu?” Yuyun mengalihkan percakapan, “Aku selalu mengikuti laporanmu di majalah setiap minggu majalah itu terbit. Aku suka tulisanmu. Kau membongkar kasus perselingkuhan seorang pejabat negara. Hebat dan mengagumkan sekali. Barangkali jika di sini, kau tak berkembang sepesat di Jakarta.”
“Mungkin iya. Di sana banyak tantangan. Kita harus mengikuti irama, kalau tidak, akan terlindas oleh yang lain. Keadaan Jakarta telah mendidikku untuk bersaing dan bersaing. Kita dikejar waktu. Setiap waktu selalu diikuti isu. Mungkin itu yang membedakan antara di sini dan di sana."
“Lantas bagaimana akhir cerita perselingkuhan itu?”
“Seperti biasa. Sebuah cerita hanya akan berhenti di sana, apalagi yang menimpa seorang pejabat negara. Pengakuan berhenti sebagai pengakuan. Namun bagi awak media, suguhan semacam itu sudah cukup untuk menggambarkan tentang sesuatu hal yang menimpa bangsa kita.”
“Kau tidak takut akan selalu diawasi?”
“Di negeri ini kita tak lagi tabu menduga-duga pejabat negara berlaku aneh, mencaci maki pejabat negara, menyumpah bahkan mendoakannya agar segera mati. Segala penilaian apapun bisa diberikan oleh siapa pun. Pejabat negara bukan lagi sosok keramat yang tak bisa dijamah, atau sosok manusia dengan keterbatasannya mengurus negara, sebab bisa jadi seorang pejabat negara seperti sebuah bangku tempat orang-orang duduk dan kentut seenaknya.”
Yuyun hanya bisa termangu mendengar kata-kata Tohar.Tohar kemudian seolah tersadar sedang bicara bukan dengan sesama jurnalis, melainkan dengan seseorang yang berperangai lugu. Mereka terus berjalan tanpa tujuan. Ketika sebuah cidomo* melintas, Tohar menyetopnya persis ketika matahari sudah beranjak ke pembaringan dan menciptakan nyala merah yang semakin redup.
***
Tohar mengenal Lombok sejak duduk di bangku kuliah semester lima. Kebetulan, seorang kakaknya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam pengiriman tembakau. Ketika pertama kali dikontak, Tohar menolak untuk datang. Ia membayangkan Lombok masih berupa hutan, dan sebagian berupa daerah persawahan dan perkebunan. Kedua orangtuanya pun menafsirkan hal serupa, sehingga Tohar dibekali berbagai kebutuhan mulai dari sabun cuci, supermi, sabun mandi, dan pasta gigi.
Sesampai di Lombok, kakaknya tertawa ngakak melihat bawaan Tohar. Demikian halnya dengan Tohar yang semula tidak menyadari keadaan Lombok yang jauh dari dugaannya. Pusat-pusat pertokoan tumbuh subur. Hotel-hotel bintang, kendati tidak sepesat daerah tetangganya, Bali, sudah bercokol di dalam maupun luar kota. Namun alamnya masih menyimpan keasrian. Di perkotaan masih dijumpai pohon-pohon cemara yang menjulang, jajaran pohon asam, yang membuat udaranya masih terasa sejuk.
Warna Bali nampak di seputar Kota Mataram. Perkampungan Bali bisa dilihat dari pinggir lewat bentuk gang-gang sempit yang dibatasi dinding berusia berabad-abad. Kehadiran warga Bali memberikan inspirasi tersendiri tentang keterbukaan masyarakat Lombok seperti halnya keterbukaan masyarakat Bali yang penduduknya semakin heterogen dan egaliter. Warna Bali kerap pula dijual sebagai sebuah produk memperkenalkan kepariwisataan Lombok. Ini tidak terlalu mengherankan mengingat peninggalan berupa taman raja yang tetap mempesona hingga sekarang.
Persentuhan dengan Bali sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Tidak mengherankan ada kesamaan cara berpakaian dalam pelaksanaan kegiatan adat. Demikian halnya dengan kesenian yang merupakan bentuk pembauran antara dua etnis itu. Namun masyarakat Lombok tidak bisa menampik pula pengaruh Jawa. Puluhan nama tempat atau desa di daerah ini hampir sama dengan nama tempat di Jawa. Perpaduan etnis lebih memahamkan Tohar tentang adanya kesetaraan antar manusia.
Di setiap pojok jalan jika malam menjelang, nampak pernik-pernik lampu pedagang kaki lima yang menjual ayam taliwang. Aroma gorengan dari hidangan ini seperti lahir dari tangan yang sama, walau pun dengan pedagang yang berbeda. Mungkin orang bisa memahami produk Mc Donalds atau Kentucky yang memiliki cita rasa serupa karena ia lahir dari satu produk dalam sebuah manajemen perusahaan. Namun sangat mengagumkan melihat produk taliwang yang berasal dari rumah-rumah penduduk, menyuguhkan menu ayam dan pelecing yang memiliki rasa yang nyaris tak berbeda.
Sebagai mahasiswa, aktivitas Tohar tidak semata di kampus, melainkan juga di luar kampus. Ia ikut serta dalam gerakan mahasiswa yang membela petani tergusur baik di Lombok Selatan maupun di Gili Trawangan. Membawa para petani melakukan aksi demonstrasi merupakan keseharian Tohar. Karena itu pula, Tohar mengenal Yuanawati, putri salah seorang tokoh petani yang akrab dipanggil Yuyun. Pembelaan mahasiswa terhadap para petani yang tanahnya tergusur untuk pembangunan hotel berbintang membuahkan hasil. Bahkan Tohar bisa memperjuangkan Yuyun untuk bisa bekerja pada hotel tersebut.
Setelah menamatkan kuliahnya, Tohar kehilangan banyak kawan seperjuangan. Namun hubungan Tohar dan Yuyun mampu mengusir kesepian yang mendera.
***
Sungguh puas Tohar bisa menikmati alam Lombok. Seperti memutar episode awal, ia berjumpa pula dengan petani yang sempat dibelanya, dan petani rumput laut itu kini telah menjadi pengusaha pariwisata yang sukses. Dan, Tohar memahami, perjuangannya dulu tidak cukup bersih. Ia pun menerima imbalan dari petani berupa tanah seluas sepuluh are yang kemudian dijual kembali ketika Pemda akhirnya mengabulkan tuntutan petani atas tanah yang diperjuangkannya. Di atas tanah itu kini telah berdiri kafe yang dilengkapi dengan sebuah diskotek.
Hari terakhir di Trawangan, membuat waktu terasa singkat. Sesingkat sebuah cerita. Kemarin berjemur di atas pasir, kemudian berenang, snorkeling dan diving, dan kemudian berada di sebuah kafe. Malam yang indah.
Ditingkahi irama musik yang mendayu-dayu, Tohar menatap wajah Yuyun yang nampak lebih cantik dari biasanya. Seteguk demi seteguk bir sudah masuk ke tenggorokannya. Para waiter lalu lalang. Tamu-tamu asing pun berdatangan. Malam semakin larut. Namun semakin terasa keramaian di pulau kecil itu.
“Kata orang, pertemuan terakhir akan memberi kenangan untuk pertemuan berikutnya. Bagaimana kita bertemu nanti, tergantung bagaimana kita mengakhiri pertemuan kita,” ujar Tohar. Yuyun hanya menatap wajah Tohar yang nampak legam akibat pengaruh bir yang merembet ke kepalanya. Bola mata Tohar pun mulai memerah.
“Benar. Aku juga merasakannya seperti ketika kita berpisah dulu... Apakah kau masih ingat, dulu kita bertengkar sebelum berpisah? Itu gara-gara kau memilih Jakarta, sedangkan aku menginginkanmu tetap di sini.” Terdiam. “Setelah itu, kau akhirnya menikahi gadis lain di sana.”
Tatapan Tohar tak mengenakkan, kemudian katanya, “Walaupun begitu, aku selalu ingat kamu, kan? Aku mencintai kamu.” Tohar menggenggam jemari Yuyun yang lentik, getaran halus merambat ke dalam dadanya, seperti sepoi angin yang mengelus tengkuknya. Tohar menatap kosong pada ruang lain, sebuah ruang yang hanya bisa ia rasakan sendiri kehadirannya. Seorang gadis, juga seorang jurnalis, seorang yang menganut kebebasan. Ia menjadi ibu dari seorang anaknya. Seorang anak perempuan yang lahir dari kebebasan, tidak menjadi bunga dalam hidupnya, kecuali sebagai sebuah pajangan sesaat yang kemudian terlupakan oleh berbagai aktivitas. Seorang yang tak pernah dicintainya dengan tulus, benarkah bisa disebut penghias hari-harinya? “Bagaimana kabar istri dan anakmu?” Pertanyaan itu seperti memantul kembali ke dalam cahaya mata Yuyun. Tohar tak menjawab dengan segera. “Apakah kau menyadari kau di sini bersamaku selama beberapa hari. Kau tak ingat mereka menunggumu di sana?”
“Aku biasa saja seperti halnya kau merasakannya. Aku juga biasa saja seperti juga dia merasakan aku pergi. Dia tak pernah menanyakanku. Begitu juga aku tak pernah menanyakannya. Jadi tak ada sesuatu yang perlu dipertanyakan tentang dia.”
“Tapi tidakkah kau ingat profesimu yang suci itu? Tidakkah itu membuatmu gundah. Kau berjalan dengan seorang gadis selama beberapa hari? Padahal beberapa hari lalu kau bongkar kasus pejabat negara itu dengan perasaan yang sangat memuaskan.” Tohar tersenyum kecut.
“Aku di sini bukan sebagai profesiku, sayang... tetapi sebagai diriku, sebagai manusia dengan kelemahannya.”
Sesaat Yuyun tercenung. Ia tak memahami jalan pikiran Tohar. Sebelum mengutarakan sesuatu, Tohar tiba-tiba beranjak dan menggandeng lengannya. Yuyun tak menampik, menyambut ajakan itu secara refleks. Pada sebuah arena. Kenny G. memainkan saksofon. Mendayu-dayu di tengah cahaya lampu yang makin redup. Mereka dibimbing cahaya dan suara, pelan tapi pasti. Semakin merapatkan tubuh. Maju mundur, kiri dan kanan. Erat. Tak ingin kehilangan. Harum semerbak rambut itu melayangkan imajinasi Tohar. Membubung. Melayang.
“Apa yang kau takutkan sekarang,” bisik hati Tohar.
“Seperti sebuah hari baru. Seperti tak pernah terjadi apa-apa.” Tohar merengkuhnya.Mereka jalan sempoyongan. Tak jelas lagi mana ruang dan mana waktu. Jalanan sudah sepi. Langit tanpa bulan.
“Tak ada yang perlu kita takutkan, bukan? Kita seperti sepasang merpati yang terbang bebas. Kau menyukainya, sayang?” Tak ada jawaban. Desah nafas beradu. Sebuah kesunyian di sudut kamar dan sebuah malam, tempat yang jauh dari kepastian. Setelah itu, Yuyun pun terisak.

Glossary : Cidomo adalah alat transportasi pedesaan di Lombok

Tidak ada komentar: