Riyanto Rabbah
Tuhan
Tuhan berjalan diam-diam
Dibukakan pintu pelan-pelan
Tuhan ditulis diucapan
Dengan sopan.
Dalam mimpi
Tuhan di langit
Dalam terjaga
Tuhan di bumi
Merobek-robek pikiran
Di mana-mana Tuhan dicari
lalu
Dikucilkan
Di sini
Tuhan dilukis tiga dimensi
Pada patung-patung
Pada batu-batu
Pada asap kemenyan
Pada bau wangian
Di sini
Tuhan dibunuh tanpa peluh
dihidupkan lagi
Dipompalah nafas
lalu ditiup bagai lilin
Tuhan disebut-sebut
ditiadakan
Begitu gampang
Seperti kulit ari
Mati dan hidup lagi
/1990-2005/
Ibu
Aku mencari ibu
Tapak jejak itu seperti
Garis sebuah kolam
Di belakang rumah
Kutelusuri setiap ruang
Siapakah yang memanggil
Sedangkan orang-orang tertidur
Karena letih
:Ini segelas air putih
Untuk ibu
Kuambilkan dari kekuatan doa waktu
Dari puisi yang mengembara
Di segenap jalan
Kutempuh
Aku mencari ibu
Dalam jejakmu
Kuingat sebuah kolam
di belakang rumah
bertahun-tahun menunggu
sapamu
Equilibrium
Sesungguhnya kau berdiri
Di depan mata
Membaca katakata
Dalam sajakku
Sesungguhnya kau berdiri
Di depan mata
Mencampuri kata
Dalam sajakku
Kudengar percakapan-Mu
Dalam desir angin
Musim berganti
Kulayari laut perasaanmu
Dalam putaran musim
Segala mengalir
Sesungguhnya kau berdiri
Di depan mata
Membaca katakata
dalam sajakku
Pohon Tua
Inikah risau cahaya menghalau senja
Ada silau sedikit reda
merenda remang dalam terang
Ekor matahari terburai di kaki bukit
terseret kelam bayang-bayang
Ada pohon kering tak tumbuh tak luruh
Di lereng jeram melepuh. Hilang musim
Gugur daunnya tanpa lambaian
Tanah berbubuk abu
Udara berwarna kuning
hinggap di atas sehelai nafas
Tak jua memanjang ranting yang lumpuh
Memagut desiran angin yang hilang rindu
Selalu saja debu menyapu
melepuhkan kulit ari
seakan waktu berbilang pagi
“Apa yang mesti kukabarkan pada angin
Sedang semua kering luka. Berbisa
Tak dapat dibuang
Percuma dibilang
Nyanyian anjing tak nyaman untuk tidur
Detak jam dinding memutar ke kiri. Selalu
menghitung bayangan
Tak jua berhenti suara-suara mencibir itu
Anak-anak reformasi mengikatkan bendera
Tegak lurus.Tanpa tiang
di lengan jarum jam dinding
sambil menikam lambung tua ini”
Ada cendawan di atas luka musim sepi
Kupu-kupu tiada berkawan hinggap
Menari-nari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar